Ini memang program lama sahabat perpus, tetapi InsyaAllah di Tahun 2016 Perpustakaan SMKN 4 Padalarang akan mencanangkan program kebangkitan Literasi bagi siswa dan warga sekolah agar lebih giat membaca dan menjadikan hal itu menjadi hal yang menyenangkan untuk dilakukan dan dibiasakan..
Mencanangkan 2015 sebagai Tahun Kebangkitan Literasi
TAHUN
2014 ditutup dengan gonjang-ganjing seputar pengalihan Kurikulum 2013
ke KTSP. Emosi reaktif guru, kerisauan orang tua, dan kebingungan
pemerintah lokal menunjukkan bahwa kurikulum masih menjadi jantung
pendidikan nasional kita. Kurikulum berfungsi laiknya buku manual untuk
mengoperasikan mesin-mesin yang mencetak produk-produk dengan spesifikasi
yang seragam. Sekolah merupakan sebuah industri raksasa yang beroperasi
secara mekanistis. Produk mekanisasi itu bernama siswa.
Tahun 2015 seharusnya menjadi titik
balik untuk memanusiakan guru. Guru bukanlah robot pengoperasi mesin
yang potensi kreatifnya bisa dikebiri buku manual bernama kurikulum.
Guru membutuhkan kurikulum yang memandu, bukan mendikte. Kurikulum
seharusnya memberikan ruang yang leluasa bagi guru untuk mengambil
keputusan, untuk memilih dan memilah materi yang sesuai dengan potensi
dan kebutuhan siswa.
Pemerintah perlu menjadikan 2015 sebagai
momen untuk memberdayakan guru melalui destandardisasi kurikulum,
program-program pendampingan, membantu guru untuk mengakses bahan ajar
di luar buku teks, dan mendorong tumbuhnya materi dan bahan ajar (resource) yang variatif untuk mendorong kreativitas guru.
Di 2015, guru perlu menjadi komunitas
literat yang kritis dan berdaya. Pemberdayaan tersebut memerlukan
dukungan sistem, yang tidak hanya terdiri atas pemerintah, tetapi juga
semua elemen pegiat literasi dan perbukuan.
Terdapat alasan lain mengapa 2015 layak
dicanangkan sebagai Tahun Kebangkitan Literasi. Dunia perbukuan
Indonesia menjadi sorotan di panggung dunia dalam perannya sebagai guest of honour
dalam ajang Frankfurt Book Fair Oktober 2015. Pemerintah tengah
menyiapkan buku-buku terbaik dan representatif untuk mencitrakan
Indonesia di mata dunia. Ironisnya, di ranah buku anak, buku-buku yang
merangkum Indonesia dalam cerita yang berkualitas dan elemen visual yang
baik tak banyak jumlahnya.
Rendahnya kualitas dan keragaman buku
anak menunjukkan bahwa dunia perbukuan belum dapat berperan maksimal
sebagai bahan ajar pendidikan, apalagi meningkatkan minat baca.
Mengadopsi istilah yang dipopulerkan Anies Baswedan, gejala itu
menandakan gawat darurat literasi anak di Indonesia. Literasi dapat
dikatakan sekarat kalau tak berbenah dan meningkatkan kualitas diri. Ia
gagal apabila tidak memiliki visi edukasi; menyadarkan anak akan misinya
menjadi manusia sejati.
Salah satu contoh kesenjangan reading for learning dan reading for pleasure dapat ditengarai dalam literasi awal. Di Indonesia, anak belajar membaca dengan mengeja suku kata tanpa makna. Ba–ba–ba. Bi-bu–bo.
Kefasihan membaca ditentukan seberapa cepat anak mengeja tanpa cela.
Ketertarikan anak terhadap teks dan isi cerita (yang kemudian dapat
berkembang menjadi rasa ingin tahu dan kegemaran membaca) belum menjadi benchmark atau kriteria kesuksesan literasi. Kurikulum mensyaratkan membaca dengan intonasi yang baik (reading with fluency) dan kemampuan anak untuk menceritakan isi teks kembali (yang berkaitan dengan reading comprehension)
sebagai tonggak pencapaian literasi. Setelah itu, anak digegas untuk
meraih capaian berikutnya. Tak ada waktu untuk memilih bacaan yang
mereka suka dan menganalisisnya. Sekolah dan kurikulum yang kaku telah
gagal mengembangkan minat baca anak sejak belia.
Ketika anak beranjak dewasa, buku-buku
yang menarik minat mereka tak banyak tersedia. Buku harus bersaing
dengan ragam aplikasi dan fitur teknologi. Di sekolah, buku-buku
pelajaran melulu didominasi teks yang berceramah tanpa jeda, tanpa
bersusah-payah menarik minat pembacanya. Ironisnya, di banyak sekolah,
buku-buku fiksi yang anak sukai masih disikapi dengan apriori. Apabila
terbawa ke sekolah, buku-buku novel dan komik itu akan tersita dalam
razia.
Selama bangsa ini menganggap
standardisasi sebagai satu-satunya cara untuk memajukan pendidikan,
segala daya dan upaya akan dicurahkan untuk menciptakan banyak standar.
Kurikulum yang rigid, standar evaluasi, dan buku teks pelajaran dengan
instruksi detail yang seragam sesungguhnya bertentangan dengan semangat
literasi.
Tidak seharusnya guru diatur teks
bernama kurikulum. Literasi seharusnya memampukan anak dan guru untuk
memiliki agensi dan otoritas terhadap teks. Misalnya, guru dapat memilih
teks yang sesuai dengan target capaian dan relevan dengan latar
belakang anak didiknya. Perlunya pemihakan Menciptakan lingkungan
literat yang beragam dan memperkaya merupakan sebuah SENO hal yang
niscaya. Dalam pendidikan literasi yang memberdayakan, keterkaitan perlu
terjalin antara kegiatan membaca dan menulis.Hal itu dilandasi dua
premis. Pertama, dalam kegiatan menulis, anak perlu dibebaskan untuk
memilih dan menulis topik yang disukainya. Kedua, kegiatan menulis anak
perlu diletakkan dalam konteks kegiatan membaca.
Anak seharusnya diminta merespons teks
bacaan, dan apabila perlu, mendekonstruksinya. Sayangnya, keterkaitan
tersebut tidak tercipta dalam pendidikan literasi saat ini. Kegiatan
menulis di sekolah sering berfungsi untuk mengetes pemahaman anak
terhadap teks. Di jenjang literasi awal, pendidikan literasi bahkan
tereduksi menjadi kegiatan membaca. Menulis masih dianggap sebagai
aktivitas ‘sakral’ untuk meminimalisasi kesalahan eja dan
mengekspresikan ide dengan struktur yang sempurna, yang tentu terlalu
rumit untuk pembaca pemula.
Ketersediaan beragam teks di luar buku
pelajaran tidak hanya membantu siswa menjadi literat secara kritis dan
kreatif, tetapi juga mendorong mereka untuk menemukan gairah (passion) terhadap literasi. Satu upaya awal untuk menciptakan itu ialah pemerintah perlu berperan lebih besar dalam memperkaya resource pendidikan ini.
Dalam kondisi gawat darurat literasi,
pemerintah seharusnya tidak menyerahkan produksi buku anak sepenuhnya
kepada kendali pasar. Pemerintah perlu mengupayakan keragaman dengan
mendorong tumbuhnya buku-buku anak yang mengangkat tema-tema
multikulturalisme, sains, sosial kemanusiaan, dengan standar
penjenjangan yang kompatibel dengan pendidikan literasi (tingkat awal
hingga tingkat lanjut), sains, dan matematika di sekolah. Upaya itu
tentu tidak semata-mata menghalalkan proyek-proyek pengadaan buku ala
inpres di masa Orde Baru yang saat itu menghasilkan buku-buku tanpa
supervisi konten sehingga tidak berkualitas, rawan korupsi, dan tidak
terdistribusi dengan baik.
Kebangkitan literasi dapat terjadi
melalui peningkatan kualitas buku, penguatan peran fasilitator, dalam
hal ini orang tua, guru, dan komunitas, dan pemaknaan baru terhadap
kegiatan membaca dan menulis.
Membangun komunitas yang gemar membaca
dan menciptakan individu yang literat dapat dilakukan dengan mengurangi
kesenjangan antara reading for learning dan reading for pleasure. Beberapa langkah strategis untuk memperkaya sumber daya literasi dan mereformasi pendidikan literasi di antaranya:
- Membentuk lembaga independen beranggotakan pustakawan, pendidik, akademisi, pakar, dan sastrawan, untuk menetapkan rujukan literer sastra anak melalui pemberian anugerah sastra anak dan sosialisasi daftar buku rekomendasi. Amerika Serikat telah melakukan hal itu melalui American Library Association (ALA) dengan penghargaan Newberry dan Caldecott yang bergengsi. Demikian pula National Book Development Council of Singapore (NBDCS) di Singapura, sebuah lembaga yang aktif mengadakan festival literasi dan penganugerahan sastra anak setiap tahun.
- Memberikan subsidi untuk mendukung produksi buku-buku anak yang berkualitas tinggi, yang selama ini tidak diproduksi penerbit komersial karena dianggap kurang laku (low-sell). Di Amerika Serikat, buku-buku anak pemenang penghargaan yang kurang diminati pasar tetap diproduksi karena diapresiasi komunitas akademik dan digunakan di sekolah. Buku-buku itu didistribusikan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah atau ditawarkan kepada sekolah dengan harga murah, dilengkapi dengan panduan untuk mengintegrasikannya dengan pelajaran bahasa, sains, dan matematika.
- Mendukung adaptasi buku dengan teknologi untuk meningkatkan aksesibilitasnya ke penjuru negeri. Selain itu, rekonstruksi konten buku dalam format multimedia dan fitur yang interaktif juga bertujuan merespons kebutuhan dan minat anak di era digital ini.
- Mendukung dan mendampingi guru-guru dalam memilih dan mendayagunakan bahan ajar di luar buku teks pelajaran dan menerapkannya di dalam kelas dengan metode yang kreatif dan inovatif.
Pelatihan-pelatihan untuk guru yang
hanya bertujuan mencekoki guru dengan aspek teknis implementasi
kurikulum sesungguhnya merupakan degradasi profesi keguruan. Kita
membutuhkan lebih banyak kisah kesuksesan tentang pengalaman dan
kepakaran guru di dalam ruang kelas; tentang bagaimana mereka
mendayagunakan bahan ajar dan menghadapi kebutuhan siswa yang beragam.
Kita membutuhkan lebih banyak subjektivitas guru dan mendukung mereka
untuk menemukan gairah (passion) dalam mengajar.
Sekolah tentu bukan satu-satunya lokus
kebangkitan literasi. Gerakan literasi juga perlu terjadi dalam keluarga
dan komunitas. Di samping langkah strategis di atas, pemerintah perlu
mendukung inisiatif-inisiatif kampanye literasi di masyarakat melalui
rumah baca dan perpustakaan komunitas. Hanya melalui upaya sinergis dan
kolaboratif di antara elemen pendukung elemen literasi, kebangkitan
literasi dapat terwujud pada 2015.
Sumber : Satria Dharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar